SAMBUTAN PENGURUS PHDI SULTRA DALAM ACARA
PENGABENAN MASAL DI DESA LAMOARE KEC. LADONGI KAB. KOLAKA
Om Swastyastu,
Asalam Mu Alaikum W. W
Pandita dan Pinandita yang kami sucikan
Yang Terhormat Bapak Bupati Kolaka (Bapak DR. H.
Buharimata)
Yang kami hormati Ketua PHDI Kab. Kolaka dan
jajarannya
Yang kami hormati, tokoh dan sesepuh Umat Hindu
Umat se-dharma Yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita sama-sama
menghaturkan Angayu Bagia, puja dan
puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas asungkerta atau anugerah
beliau pada kesempatan ini kita dapat secara bersama-sama dengan Bapak Bupati
Kolaka dapat hadir dalam rangkaian upacara Pitra Yajna dalam hal ini upacara Pengabenan
umat Hindu, Desa Lamoare, Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka. Suatu
kebahagiaan bagi kami sebagai pengurus Majelis Tertinggi Agama Hindu (Parisada)
Prov. Sultra dan secara pribadi dapat hadir secara langsung dalam kegiatan ini.
Bapak Bupati
yang Kami hormati,
Dalam kitab suci bhagawadgita VIII. 8 disebutkan
ada enam kelemahan hidup manusia yang tidak bisa di tolak atau di hindari,
lahir (jatma), sakit (wyadi), kesengsaraan (dukha), kealpaan (dosa) umur tua
(jara) dan kematian (mrtyu). Siapapun itu kelemahan itu melekat pada dirinya, bagi
yang hidup kematian adalah suatu yang pasti, bagi yang pasti kelahiran adalah
sesuatu yang mungkin, kalau kita meyakini konsep ajaran reinkarnasi. Kematian mesti direnungkan setiap saat oleh
manusia, karena itu merupakan bagian dari nasib yang diakibatkan oleh karmaphalanya sendiri. Dalam
Canakaya Nitisastra XIII. 4 ada dinyatakan bahwa; ayuh (umur), Karma
(pekerjaan), Wita (kekayaan), Widya (ilmu pengetahuan) dan Nidahana (kermatian) sudah ditentukkan
oleh Tuhan saat roh manusia masih dalam kandungan ibu. Tuhan menetapkan lima
hal itu berdasarlkan karma-karma yang dilakukan sebelumnya, tentu Tuhan
tidaklah sewenang-wenang menentukan. Menurut keyakinan Hindu Tuhan itu maha adil dan menegakan ajaran Hukum
Karma Phala yang diciptakanNya. Demikianlah soal kematian secara garis besarnya
kematian itu sudah ditetapkan berdasarkan karma-karma sebelumnya. Mati itu
salah satu dari bentuk nasib yang dikaitakan oleh karmanya masing-masing.
Bapak Bupati
yang Kami hormati,
Sehubungan dengan kamatian itu, dalam ajaran Hindu ada prosesi uppacara
yang dilakukan, agar para median dapat secara cepat kembali kepada asalnya,
sebagaimana asal dari terbentuknya manusia itu dalam konsep Hindu, yaitu yang
dikenal dengan upacara pengabenan. Berbicara tentang Ngaben sendiri, mungkin
sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu sebagai pelaksana amanat ajaran Weda,
demikian juga tentunya umat lain sudah tentu pernah mendengarnya istilah atau
tentang Upacara Pengabenan ini.
Bapak Bupati
yang Kami hormati,
Pengabenan adalah suatu upacara dalam ajaran Hindu yang tergolong jenis
Upacara Pitra Yajna. Dalam ajaran Hindu mengenal bahwa ada lima jenis upacara
yajna, yaitu Dewa Yajna (Upacara yang ditujukan kepada para Dewata/Tuhan); Rsi
Yajna (yaitu upacara untuk kemuliaan para Rsi/Orang Suci; Pitra Yajna (upacara
yang ditujukan untuk kemuliaan leluhur yang telah meninggal dunia); Upacara
Manusa Yajna (untuk kemuliaan dan keselamatan manusia) dan Bhuta Yajna (untuk
keseimbangan alam lingkungan).
Upacara pengabenan termasuk kelompok pitra Yajna. Kalimat Pitra Yajña terdiri dari suku kata (Pitara), dan Yajña (Korban). Suku kata Pitra
(Pitara), berarti bapak/ibu leluhur
yang terhormat (sinuhun). Dan kata Yajña, berarti penyaluran tenaga atas
dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan. Pitra Yajña adalah penyaluran (tenaga, sikap, tingkah laku dan
perbuatan) atas dasar hati yang suci (ikhlas), yang ditujukan kepada leluhur,
untuk keselamatan bersama.
Bapak Bupati
yang kami hormati,
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat. Kata
Ngaben memiliki akar kata “abu”. Dimana kata “abu” setelah mendapat pengiring (akhiran) “an” menjadi “abuan”
yang lalu disandikan menjadi “abon” (sebagaimana pula kata “bebatuan” menjadi
“bebaton”, “cecaruan” menjadi “cecaron”, “keratuan” menjadi “keraton”). Dengan
mendapat pengater anu suara “abon” berubah menjadi “ngabon”. Dengan eras onek (meta-tesis) untuk lebih
menghaluskan arti, “ngabon” menjadi “Ngaben.
Menurut Renward Branstetter (dalam Wiana, 1998:32), kata Ngaben adalah
bahasa Bali yang berasal dari kata ”Api”. Kata ”Api” ini kemudian mendapat
prefik sengau ”ng” dan suffic ”an” sehingga kemudian menjadi ”Ngapian” kata
“Ngapian” lalu menjadi sandhi “Ngapen”. Huruf P B W adalah satu warga sehingga
“P” berubah menjadi “B”. Dengan demikian kata “Ngapen” menjadi “Ngaben” yang artinya menuju Api. Api dalam Agama
Hindu adalah lambang Brahma. Jadi kata Ngaben artinya perjalanan menuju alamnya
Brahma.
Lebih jauh mengenai api (Agni)
dalam kitab Rg. Veda X. 15.13 dijelaskan bahwa Hyang Agni diyakini mengetahui
semua roh para leluhur. Adapun kutipan dari Rg. Veda X. 15.13 adalah sebagai
berikut;
Ye ca iha pitaro ye ca neha
yāmş,
Ca vidma yāmu ca na
pravidma,
Tvam vettha yati te
jātavedah,
Svadhābhir yajñam sukŗtam
juşasva.
(Kedua kelompok para leluhur kami yang di ketahui dan yang tidak kami
ketahui, yang di sini atau yang tidak ada di sini, sesungguhnya Hyang Agni (jātavedah) yang paling mengetahui
jumlahnya, wahai Hyang Agni nikmatilah dengan bahagia persembahan yang di
sediakan bersama dengan upacara pembakaran jenazah ini).
Apa yang di katakan oleh Renward Branstetter sebagaimana seperti tersebut
di atas, jika dikaitkan dengan mantram yang terdapat dalam Rg. Veda X. 15.13
memiliki kemiripan dan kesamaan, sebab menurut mantram Rg. Veda X. 15.13
menyatakan bahwa Hyang Agni diyakini mengetahui semua jumlah roh (atma) para leluhur. Kepercayaan dan
keyakinan umat Hindu memandang bahwa Agni
atau api di samping berfungsi sebagai pengantar dalam upacara juga diyakini
sebagai saksi agung dalam segala perbuatan dan tindakan sehari-hari. Menurut
Wikarman. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata “Beya” yang artinya biaya atau bekal. Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi Meyanin. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan
secara pendek menjadi Ngaben. Ngabeyain
atau Ngaben artinya memberikan ”beya”
atau bekal bagi yang telah meninggal.
Upacara Ngaben (atiwa-tiwa)
yang berkonotasi halus di Bali sering disebut Palebon. Palebon berasal
dari kata “lebu” yang artinya
“Prathiwi” atau tanah. Jadi dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa Palebon
artinya untuk menjadikan Prathiwi atau Abu. Untuk menjadikan tanah itu ada dua
cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar
adalah yang paling cepat untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Butha.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Ngaben adalah perosesi pembakaran
mayat (Jenazah), untuk mempercepat peroses pengembalian unsur-unsur dari Panca Maha Bhuta yang membentuk badan
manusia (lima unsur zat alam) yaitu Akasa (ether
atau ruang), Wayu (hawa atau udara), Teja (api), Apah (air) dan Perthiwi (tanah).
Bapak Bupati yang kami hormati, dan umat sedharma yang kami muliakan,
Tentang sumber pelaksanaan upacara
pengabenan ini cukup banyak, yang dijelaskan dalam berbagai lontar di Bali,
akan tetapi secara umum umat Hindu diperkenankan dapat memilih mana kiranya
yang dapat dilaksanakan disesuaikan dengan kemampuan. Dari sekian banyak
pustakan yang dijadikan sumber yang paling umum diambil dari 5 pustaka yaitu,
Sundari Gama, Baji Loka Tattwa, Siwagama, Panca Sudha Atma dan Aji Trus Tunjung
yang isinya parallel menjabarkan tentang Teologi dan Eskatologi Pengabenan Atau
sering di sebut Atnyesti Samsakra.
Bapak Bupati dan
Umat Sedharma yang berbahagia
Dasar dari semua tatanan upacara yajna
dan khususnya upacara pengabenan ini adalah ketulusan dan keiklasan. Tidak ada
artinya dan tidak ada phalanya jika upacara yajna hanya didasarkan atas ego
semata. Dalam ajaran Hindu kualitas atau berhasilnya upacara tidak ditentukan
oleh besarnya material upacara, akan tetapi yajna paling utama adalah ketulus
iklasan (lascarya) menuju keberhasilan Dharma Sidiarta. Kalau kita membaca
pustaka Lontar Yama Purwana Tattwa tentang penjelasan upacara pengabenan ini
disebutkan, bahwa”
Untuk berhasilnya
tata cara melakukan upacara kematian bagi manusia kemampuan yang disebut
sederhana, menengah dan utama (nista, madya dan Utama). Orang yang mati secara
wajar agar dibakar saja, berhasil mendapat di alam Brahma. Walapun tanpa biaya
(upacara besar) lenyap pada sewa Api, berhasil mendapat keselamatan Sang Atma
itu.
Berdasarkan petikan Pustaka tersebut, jelas memberikan keyakinan kepada
kita umat Hindu, bahwa pelaksanaan upacara pengabenan bisa dipilih dengan
melaksakan dengan tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan, (nista, madya
dan Utama) dan wajib hukumnya ketika manusia meninggal dilakukan Upacara
Pengabenan ini, sebagai bentuk pengembalian Asal muasalnya Badan Manusia
(sarira) dan untuk memungkinkan tercapainya penyatuan dengan Brahman Tuhan yang
Maha Esa. Sementara itu menurut ajaran Siwa sidhanta yang tertuang dalam Lontar
Bhuana Kosa III. 80, bahwa, Sakweh ning
jagad kabeh mijil sakeng Bhatara Siwa Ika, Lina ring Bhatara Siwa ya, yang
maksudnya bahwa Seluruh Alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali
kepada Bhatara Siwa juga. Artinya semua yang ada di dunia ini akan kembali
kepada asal muasalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Bapak Bupati yang kami hormati, dan umat sedharma yang kami muliakan,
Tentang jenis Upacara Pengabenan
berdasarkan susatra Hindu ada dua macam yaitu, Sawa Wedana, dan Atma Wedana.
Om swastiastu
BalasHapusSemoga upacara Ngaben Masal berjalan lancar sesuai rencana, serta Sang Jiwa (Atma) dapat manunggal bersama Brahman, Awighnamastu