KATA SAMBUTAN
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PADA ACARA MEBUMI SUDHA, NGELINGGIHAN WEDA LAN MAPULANG LINGGA
PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
PADA ACARA MEBUMI SUDHA, NGELINGGIHAN WEDA LAN MAPULANG LINGGA
SIRA MPU PANDHYA
DWIJANANDA PUTRA DAN SIRA MPU GALUH SUSILA PUTRI
GRYA MAETRI GIRI WANUA
Desa Wia-Wia, 06 April 2013
Om Swastyastu,
Para Pandita lan Pinandita maka sami yang kami
sucikan,
Pembimas Hindu yang kami hormati,
Para pengurus lembaga-lembaga Hindu yang sempat hadir yang kami hormati,
Pengurus Maha Semaya Warga Pande Prov. Sultra,
Pengurus PHDI Kab. Kolaka
Prawartaka karya/panitia Pediksan yang kami
hormati
Para Undangan yang berkenan hadir, Para tokoh dan sesepuh Umat Hindu
Umat se-dharma yang berbahagia,
Pertama-tama marilah kita sama-sama
menghaturkan angayu bagia, puja dan
puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas asungkerta lan Waranugraha
beliau pada kesempatan yang berbahagia ini, nemonin Rahina Kuningan, kita
secara bersama-sama dapat hadir secara langsung menyaksikan yang boleh
dikatakan langka karena jarang kita menyaksikannya yaitu upacara Mebumi Sudha, Ngalinggihan
Weda lan mapulang Lingga Sulinggih kita. Kami dari Majelis Tertinggi Agama
Hindu (Parisada) Prov. Sultra memberikan apresiasi yang tinggi dan menyambut
baik terlaksananya upacara ini, tentunya ini semua berkat kerja keras dari
semua panitia khususnya Pasemetonan Maha Semaya Pande dan umat se dharma yang di
Kabupaten Kolaka pada umumnya. Perkenankan di awal sambutan ini, kami
mengucapkan selamat hari Raya Kuningan, semoga Hyang Parama Wisesa, Bhatara-Bhatari
leluhur senantiasa memberikan berkah dan anugerahnya bagi kita semua.
Ida
Na Laingsir yang kami sucikan dan Umat se-dharma yang saya muliakan,
Parisada sebagai Majelis
Tertinggi Agama Hindu, berkewajiban memberikan pengayoman kepada seluruh umat
Hindu, dan tentunya memberikan dukungan dan mendorong umat untuk meningkatkan
kesucian diri, dalam hal ini adalah melaksanakan Padiksan, karena kita sadari
bahwa manusia yang lahir dalam
dunia material/prakrti adalah kelahiran
Sudra, lebih-lebih di jaman
kali ini setiap manusia adalah
sudra, di dalam pustaka suci
disebutkan:
“Janmane jayate sudra,
samskarairdvija ucyate,
Veda pathat bhavet
viprah, brahma janati brahmanah”
(Ketika lahir dari
rahim ibu, seseorang dikatakan Sudra, dengan diksa/Samskara seseorang menjadi dwijati, dengan mempelajari Veda
seseorang mencapai kedudukan sebagai seorang suci; dan siapapun mempunyai
pengetahuan tentang Brahman disebut Brahmana)
Sejalan dengan hal
tersebut Dalam (Srimad Bhagavatam 4.12.48), disebutkan juga bahwa “Orang
yang berstatus Sudra tidak dibenarkan belajar Veda, maka untuk membangun
kesadaran Tuhan, setiap orang wajib di diksa
untuk menciptakan sifat ke brahmanaan dalam rangka mengumandangkan pengetahuan
spiritual”.
Selanjutnya
juga dijelaskan dalam kitab Yajur Veda XX. 25
sebagai berikut :
“Vratena
diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam
daksinam
sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate”
(Dengan
menjalankan bratha (disiplin diri) seseorang mencapai diksa (penyucian diri),
dengan diksa seseorang memperoleh daksina (penghormatan), dengan daksina
seseorang mencapai sraddha (keyakinan yang teguh), melalui sraddha seseorang
akan mencapai Satya (Tuhan)
Sehubungan dengan hal
tersebut maka tidak ada alasan tentunya umat Hindu untuk tidak
mensucikan dirinya guna menciptakan sifat-sifat Ketuhanan dalam diri, tanpa terkecuali
guna mewujudkan jagadhita dalam kehidupan ini. Disamping melembagakan
atau menciptakan sifat ke Brahmanaan dalam diri, harus diketahui bersama bahwa Diksa
merupakan salah satu unsur keimanan Hindu, agar semesta ini tetap ajeg
terciptanya kertalagu. Hal tersebut dinyatakan dalam kitab Atharwa Weda XII, 1.1, yang berbunyi
sebagai berikut :
“Satyam
brhad rtam ugram diksa tapo
Brahma
yajna prthivim dharayanti”
(Sesungguhnya
kebenaran, hukum, inisiasi, disiplin, doa, serta persembahan merupakan
penyangga dari bumi ini).
Dari
pernyataan mantra tersebut, maka sesungguhnya bagi siapapun bahwa diksa dan
mutlak harus dilaksankan oleh umat Hindu, yang merupakan salah
satu dari empat tangga yang mesti dilalui
oleh umat Hindu dalam mewujudkan
Satya atau Tuhan .
Ida
Na Lingsir yang kami sucikan dan Umat se-dharma yang saya muliakan,
Kata diksa sendiri dikonstruksi dari kata di dari V yang berarti memberi
pengetahuan spiritual (divya jnana)
dan kata ksa yang berarti
menghancurkan kegiatan yang berdosa. Maka kata diksa secara etimologi memiliki arti menghancurkan kegiatan berdosa
melalui pengetahuan spiritual (divya
jnana/agnijnana). Hal ini ditemukan dalam pengertian diksa dalam Visnu Yamala sebagai berikut:
“Divyam jnanam yato dadyat kuryat papasya
sanksyam,
Tasmat dikseti sa prokta
desikais tattva kovidaih”
(Diksa adalah proses dimana
seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi
yang disebabkan oleh kegiatan yang berdosa. Orang yang ahli dalam pengetahuan
Veda mengenal proses ini sebagai diksa).
Kata diksa disepadankan dengan initiation dalam bahasa Inggris yang
berarti penyucian, pentasbisan, pelantikan. Secara terminologi diartikan
sebagai suatu upacara penerimaan seorang menjadi murid dalam dunia spiritual
oleh seorang Guru Spiritual/Acarya
yang bonafide (kerta diksita). Kata diksa memiliki
padanan yang sama dengan dvijati yang
berarti lahir kedua kalinya. Pertama lahir dari rahim ibu, kedua kelahiran yang
diperoleh dari Guru kerohanian yang di
Bali disebut dengan istilah “Nabe”.
Pelaksanaan diksa tidak sekedar inisiasi formal atau ritual belaka, melainkan
juga menunjukkan terjalinnya hubungan yang mendalam dan bersifat pribadi antara
Guru Nabe dengan Sisya, dalam rangka
melembagakan nilai-nilai ke Tuhanan pada diri Sang Sisya. Kitab Atharvaveda XI. 5.3 menjelaskan, bahwa saat
pelaksanaan diksa, seorang Guru Nabe seakan menempatkan murid atau sisya dalam badannya, seperti seorang
ibu mengandung bayi nya dan setelah melalui brata
selama tiga hari, secara simbolis murid dilahirkan sebagai orang yang sangat
mulia disaksikan oleh para deva.
Dengan demikian pelaksanaan diksa merupakan transisi dari gelap ke terang, dari
kemanusiaan menuju ketuhanan, sehingga terkesan rahasia dan kental dengan
nuansa magis dan mistis. Di Bali diksa disepadankan
dengan mapodgala, masuci, mabersih,
madwijati, malinggih yang mengandung pengertian sama dengan samskara/askara.
Ida
Na Lingsir yang kami sucikan dan Umat se-dharma yang saya muliakan,
Melakukan Diksa memang menjadi kewajiban bagi setiap umat Hindu.
Kewajiban Mediksa bagi umat Hindu dijelaskan dalam Lontar Kunti Yajña, bahwa
apabila seseorang dalam hidupnya tidak melakukan upacara diksa atau Dwijati
maka setelah meninggal ia diupacarai Diksa dengan istilah Askara. Kata Diksa
dalam bahasa Sanskerta berarti Askara yaitu suatu Upacara penyucian diri untuk
mencapai tingkatan Dwijati. Kalau Upacara madiksa orangnya mengalami proses
amari aran atau pergantian nama dari nama semula terus mendapat nama baru dari
Nabenya. Ada
yang sebut Ida Pedanda, Ida Sri , Sira Mpu, sebut Ida Pandita Empu, Bhagawan, dan
lain-lain.
Ida
Na Lingsir yang kami sucikan dan Umat se-dharma yang saya muliakan,
Dengan kehadiran
sulinggih yang sekarang di Desa Wia-Wia ini, maka jumlah Sulinggih kita
bertambah menjadi 6 orang dari harapan 40 orang berdasarkan Grand Design Hindu
Sultra 2050. Dengan kehadiran beliau yang 6 orang sekarang paling tidak dapat
membantu dan meringankan tugas Majelis untuk memberikan pembinaan, pelayanan
kepada umat Hindu di Sulawesi Tenggara, yaitu dengan memimpin masyarakat dalam
upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru
Loka”; dan “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/tempat bertanya,
tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama
Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara,
“muput” upacara yajna.
Bagi yang melaksanakan diksa yajna yang paling
mulia adalah mengorbankan semua keterikatan duniawi adalah sebuah sikap mental
yang harus diutamakan. Pelaksanaan Matiraga sebagai pembuka dalam upacara
padiksan bermakna bagaimana sang diksita
tidak lagi pamrih dan terikat pada
kehidupan dunia. Seorang diksita
adalah pertapa yang senantiasa mengendalikan semua hawa nafsunya, umatendrya tan wineh ring wisayanya (mengendalikan
segala nafsunya serta tidak melampiaskan pada objek kenikmatan), tan agirang yang hana wwang ingalem tan
alara yang hana wwang aninda (tidak senang jika ada yang memuji dan tidak berduka
jika ada merendahkan). Semua dedikasi dipersembahkan untuk Tuhan, kerja yang
dilakukan semata-mata atas dasar nishkamakarma
bukan wisayakarma. Dengan diksa
secara formal manusia telah memulai kehidupan sebagai orang suci dan menjadikan
tubuhnya sebagai persembahan untuk menstanakan Tuhan/Siva dan melepaskan ikatan
atma untuk menjadi Siva, seperti pernyataan Maitreyi Upanisad (2.1)
“Dehi devalayah proktah, sajiva kevalah
sivah.”
(Badan jasmani adalah tempat suci, jiwa adalah Siva itu
sendiri).
Harapan kita semua
kepada beliau, kita juga harus memahami, bahwa sulinggih/ pandita bukan milik kelompok,
klen, warga tertentu, tetapi adalah milik umat Hindu karena beliau telah meraga
Siwa sebagai perwujudan Tuhan Siwa itu sendiri, tanpa ada perbedaan-perbedaan
atau sekat dibelakangnya, entah itu karena keturunan, soroh, klan, wangsa dan
sebagainya.
Disamping hal tersebut kewajiban kita semua
kepada beliau adalah berbakti dan dan menghormati beliau, yang dapat kita
lakukan dalam bentuk apapapun, seperti memberikan bantuan financial sebagai
implementasi ajaran Rsi Yajna. Tentunya kita harus yakin dan sadar bahwa
semakin banyak kita memiliki orang suci, maka wilayah daerah akan semakin
gemuh/sejahtera, baik secara jasmani maupun rohani, karena setiap hari semesta
ini di doakan, dan pibrasi kesucian menyebar ke berbagai wilayah melalui Puja
Surya Sewana nya..
Ida Na Lingsir yang kami sucikan
dan Umat se-dharma yang saya muliakan,
Akhirnya ijinkanlah sekali lagi, saya
pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Sulawesi Tenggara, dan atas
nama masyarakat Hindu di Sulawesi Tenggara, mengucapkan ucapan selamat kepada Sira
Mpu, semoga dapat mengabdikan diri untuk kepentingan umat Hindu, khususnya di
Sulawesi Tenggara. Kepada Guru Nabe dan Guru Saksi Beliau kami selaku Majelis
juga mengucapkan sekali lagi ucapan terimakasih atas kerendahan hati na lingsir
sudah berkenan menapak warga kami, serta juga kepada panitia pelaksana,
khususnya Warga Pande kami ucapkanya banyak terimakasih atas kerja kerasnya,
sehingga penyelenggaraan upacara dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Semoga Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah dan anugerahnya
bagi kita semua.
Om Ksama Sampurna Ya Nama Swaha,
Om Santih, Santih,
Santih, Om
Kolaka,
6 April 2013
Ketua
PHDI Prov. Sultra
DR.
Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar