Jumat, 02 Agustus 2013

SAMBUTAN PENGURUS PHDI SULTRA DALAM ACARA PENGABENAN MASAL DI DESA LAMOARE KEC. LADONGI KAB. KOLAKA

Om Swastyastu,
Asalam Mu Alaikum W. W

Pandita dan Pinandita yang kami sucikan
Yang Terhormat Bapak Bupati Kolaka (Bapak DR. H. Buharimata)
Yang kami hormati Ketua PHDI Kab. Kolaka dan jajarannya
Yang kami hormati, tokoh dan sesepuh Umat Hindu
Umat se-dharma Yang berbahagia.

        Pertama-tama marilah kita sama-sama menghaturkan Angayu Bagia, puja dan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas asungkerta atau anugerah beliau pada kesempatan ini kita dapat secara bersama-sama dengan Bapak Bupati Kolaka dapat hadir dalam rangkaian upacara Pitra Yajna dalam hal ini upacara Pengabenan umat Hindu, Desa Lamoare, Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka. Suatu kebahagiaan bagi kami sebagai pengurus Majelis Tertinggi Agama Hindu (Parisada) Prov. Sultra dan secara pribadi dapat hadir secara langsung dalam kegiatan ini.

Bapak Bupati yang Kami hormati,
        Dalam kitab suci bhagawadgita VIII. 8 disebutkan ada enam kelemahan hidup manusia yang tidak bisa di tolak atau di hindari, lahir (jatma), sakit (wyadi), kesengsaraan (dukha), kealpaan (dosa) umur tua (jara) dan kematian (mrtyu). Siapapun itu kelemahan itu melekat pada dirinya, bagi yang hidup kematian adalah suatu yang pasti, bagi yang pasti kelahiran adalah sesuatu yang mungkin, kalau kita meyakini konsep ajaran reinkarnasi. Kematian mesti direnungkan setiap saat oleh manusia, karena itu merupakan bagian dari nasib yang diakibatkan oleh karmaphalanya sendiri. Dalam Canakaya Nitisastra XIII. 4 ada dinyatakan bahwa; ayuh (umur), Karma (pekerjaan), Wita (kekayaan), Widya (ilmu pengetahuan) dan Nidahana (kermatian) sudah ditentukkan oleh Tuhan saat roh manusia masih dalam kandungan ibu. Tuhan menetapkan lima hal itu berdasarlkan karma-karma yang dilakukan sebelumnya, tentu Tuhan tidaklah sewenang-wenang menentukan. Menurut keyakinan Hindu Tuhan  itu maha adil dan menegakan ajaran Hukum Karma Phala yang diciptakanNya. Demikianlah soal kematian secara garis besarnya kematian itu sudah ditetapkan berdasarkan karma-karma sebelumnya. Mati itu salah satu dari bentuk nasib yang dikaitakan oleh karmanya masing-masing.


Bapak Bupati yang Kami hormati,

Sehubungan dengan kamatian itu, dalam ajaran Hindu ada prosesi uppacara yang dilakukan, agar para median dapat secara cepat kembali kepada asalnya, sebagaimana asal dari terbentuknya manusia itu dalam konsep Hindu, yaitu yang dikenal dengan upacara pengabenan. Berbicara tentang Ngaben sendiri, mungkin sudah tidak asing lagi bagi umat Hindu sebagai pelaksana amanat ajaran Weda, demikian juga tentunya umat lain sudah tentu pernah mendengarnya istilah atau tentang Upacara Pengabenan ini.

Bapak Bupati yang Kami hormati,

Pengabenan adalah suatu upacara dalam ajaran Hindu yang tergolong jenis Upacara Pitra Yajna. Dalam ajaran Hindu mengenal bahwa ada lima jenis upacara yajna, yaitu Dewa Yajna (Upacara yang ditujukan kepada para Dewata/Tuhan); Rsi Yajna (yaitu upacara untuk kemuliaan para Rsi/Orang Suci; Pitra Yajna (upacara yang ditujukan untuk kemuliaan leluhur yang telah meninggal dunia); Upacara Manusa Yajna (untuk kemuliaan dan keselamatan manusia) dan Bhuta Yajna (untuk keseimbangan alam lingkungan).
Upacara pengabenan termasuk kelompok pitra Yajna. Kalimat Pitra Yajña terdiri dari suku kata (Pitara), dan Yajña (Korban). Suku kata Pitra (Pitara), berarti bapak/ibu leluhur yang terhormat (sinuhun). Dan kata Yajña, berarti penyaluran tenaga atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorbanan. Pitra Yajña adalah penyaluran (tenaga, sikap, tingkah laku dan perbuatan) atas dasar hati yang suci (ikhlas), yang ditujukan kepada leluhur, untuk keselamatan bersama.

Bapak Bupati yang kami hormati,
Ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat. Kata Ngaben memiliki akar kata “abu”. Dimana kata “abu” setelah mendapat pengiring (akhiran) “an” menjadi “abuan” yang lalu disandikan menjadi “abon” (sebagaimana pula kata “bebatuan” menjadi “bebaton”, “cecaruan” menjadi “cecaron”, “keratuan” menjadi “keraton”). Dengan mendapat pengater anu suara “abon” berubah menjadi “ngabon”. Dengan eras onek (meta-tesis) untuk lebih menghaluskan arti, “ngabon” menjadi “Ngaben.
Menurut Renward Branstetter (dalam Wiana, 1998:32), kata Ngaben adalah bahasa Bali yang berasal dari kata ”Api”. Kata ”Api” ini kemudian mendapat prefik sengau ”ng” dan suffic ”an” sehingga kemudian menjadi ”Ngapian” kata “Ngapian” lalu menjadi sandhi “Ngapen”. Huruf P B W adalah satu warga sehingga “P” berubah menjadi “B”. Dengan demikian kata “Ngapen” menjadi “Ngaben”  yang artinya menuju Api. Api dalam Agama Hindu adalah lambang Brahma. Jadi kata Ngaben artinya perjalanan menuju alamnya Brahma.
Lebih jauh mengenai api (Agni) dalam kitab Rg. Veda X. 15.13 dijelaskan bahwa Hyang Agni diyakini mengetahui semua roh para leluhur. Adapun kutipan dari Rg. Veda X. 15.13 adalah sebagai berikut;

Ye ca iha pitaro ye ca neha yāmş,
Ca vidma yāmu ca na pravidma,
Tvam vettha yati te jātavedah,
Svadhābhir yajñam sukŗtam juşasva.

(Kedua kelompok para leluhur kami yang di ketahui dan yang tidak kami ketahui, yang di sini atau yang tidak ada di sini, sesungguhnya Hyang Agni (jātavedah) yang paling mengetahui jumlahnya, wahai Hyang Agni nikmatilah dengan bahagia persembahan yang di sediakan bersama dengan upacara pembakaran jenazah ini).

Apa yang di katakan oleh Renward Branstetter sebagaimana seperti tersebut di atas, jika dikaitkan dengan mantram yang terdapat dalam Rg. Veda X. 15.13 memiliki kemiripan dan kesamaan, sebab menurut mantram Rg. Veda X. 15.13 menyatakan bahwa Hyang Agni diyakini mengetahui semua jumlah roh (atma) para leluhur. Kepercayaan dan keyakinan umat Hindu memandang bahwa Agni atau api di samping berfungsi sebagai pengantar dalam upacara juga diyakini sebagai saksi agung dalam segala perbuatan dan tindakan sehari-hari. Menurut Wikarman. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata “Beya” yang artinya biaya atau bekal. Kata beya ini dalam kalimat aktif (melakukan pekerjaan) menjadi Meyanin. Boleh juga disebut Ngabeyain. Kata ini kemudian diucapkan secara pendek menjadi Ngaben. Ngabeyain atau Ngaben artinya memberikan ”beya” atau bekal bagi yang telah meninggal.
Upacara Ngaben (atiwa-tiwa) yang berkonotasi halus di Bali sering disebut Palebon. Palebon berasal dari kata “lebu” yang artinya “Prathiwi” atau tanah. Jadi  dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Palebon artinya untuk menjadikan Prathiwi atau Abu. Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Butha.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa Ngaben adalah perosesi pembakaran mayat (Jenazah), untuk mempercepat peroses pengembalian unsur-unsur dari Panca Maha Bhuta yang membentuk badan manusia (lima unsur zat alam) yaitu Akasa (ether atau ruang), Wayu (hawa atau udara), Teja (api), Apah (air) dan Perthiwi (tanah).

Bapak Bupati yang kami hormati, dan umat sedharma yang kami muliakan,
        Tentang sumber pelaksanaan upacara pengabenan ini cukup banyak, yang dijelaskan dalam berbagai lontar di Bali, akan tetapi secara umum umat Hindu diperkenankan dapat memilih mana kiranya yang dapat dilaksanakan disesuaikan dengan kemampuan. Dari sekian banyak pustakan yang dijadikan sumber yang paling umum diambil dari 5 pustaka yaitu, Sundari Gama, Baji Loka Tattwa, Siwagama, Panca Sudha Atma dan Aji Trus Tunjung yang isinya parallel menjabarkan tentang Teologi dan Eskatologi Pengabenan Atau sering di sebut Atnyesti Samsakra.

Bapak Bupati dan Umat Sedharma yang berbahagia
        Dasar dari semua tatanan upacara yajna dan khususnya upacara pengabenan ini adalah ketulusan dan keiklasan. Tidak ada artinya dan tidak ada phalanya jika upacara yajna hanya didasarkan atas ego semata. Dalam ajaran Hindu kualitas atau berhasilnya upacara tidak ditentukan oleh besarnya material upacara, akan tetapi yajna paling utama adalah ketulus iklasan (lascarya) menuju keberhasilan Dharma Sidiarta. Kalau kita membaca pustaka Lontar Yama Purwana Tattwa tentang penjelasan upacara pengabenan ini disebutkan, bahwa”
Untuk berhasilnya tata cara melakukan upacara kematian bagi manusia kemampuan yang disebut sederhana, menengah dan utama (nista, madya dan Utama). Orang yang mati secara wajar agar dibakar saja, berhasil mendapat di alam Brahma. Walapun tanpa biaya (upacara besar) lenyap pada sewa Api, berhasil mendapat keselamatan Sang Atma itu.

          Berdasarkan petikan Pustaka tersebut, jelas memberikan keyakinan kepada kita umat Hindu, bahwa pelaksanaan upacara pengabenan bisa dipilih dengan melaksakan dengan tingkatan yang disesuaikan dengan kemampuan, (nista, madya dan Utama) dan wajib hukumnya ketika manusia meninggal dilakukan Upacara Pengabenan ini, sebagai bentuk pengembalian Asal muasalnya Badan Manusia (sarira) dan untuk memungkinkan tercapainya penyatuan dengan Brahman Tuhan yang Maha Esa. Sementara itu menurut ajaran Siwa sidhanta yang tertuang dalam Lontar Bhuana Kosa III. 80, bahwa, Sakweh ning jagad kabeh mijil sakeng Bhatara Siwa Ika, Lina ring Bhatara Siwa ya, yang maksudnya bahwa Seluruh Alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga. Artinya semua yang ada di dunia ini akan kembali kepada asal muasalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Bapak Bupati yang kami hormati, dan umat sedharma yang kami muliakan,
        Tentang jenis Upacara Pengabenan berdasarkan susatra Hindu ada dua macam yaitu, Sawa Wedana, dan Atma Wedana.


1 komentar:

  1. Om swastiastu
    Semoga upacara Ngaben Masal berjalan lancar sesuai rencana, serta Sang Jiwa (Atma) dapat manunggal bersama Brahman, Awighnamastu

    BalasHapus